Pembelajaran berbasis masalah terbuka adalah pembelajaran yang
masalahnya memiliki alternatif ragam strategi penyelesaian namun tertuju dalam
satu jawaban atau alternatif ragam strategi penyelesaian dan ragam jawaban.
1.
Pembelajaran Berbasis
Masalah
Menurut
Barrows dan Kelson (dalam Permana, 2004 : 18) ‘belajar berbasis masalah
merupakan rencana pelajaran dan proses pembelajaran. Rencana pembelajaran
terdiri dari pilihan dan bentuk masalah yang diperoleh dari pengetahuan siswa,
kemampuan memecahkan masalah, strategi pembelajaran masing-masing siswa,
kemampuan berkelompok’. Proses ini mencontoh sistem pendekatan yang biasa
digunakan untuk memecahkan masalah atau menemui tantangan yang dihadapi dalam
hidup karir. Menurut Permana (2004 : 18) “istilah pembelajaran berbasis masalah
sebagai terjemahan dari istilah problem based instruction (PBI),
merupakan suatu pembelajaran yang mempunyai perbedaan dengan pembelajaran pada
umumnya di lapangan”.
Stephen dan
Gallagher (dalam Permana, 2004 : 18)
menyatakan bahwa pembelajaran
berbasis masalah merupakan sebuah pengembangan kurikulum dan sistem pengantar
yang memperkenalkan kebutuhan untuk mengembangkan kemampuan memecahkan masalah
sebaik keharusan membantu siswa untuk memperoleh kebutuhan pengetahuan dan
kemampuan. Menurut Permana (2004 : 19) pembelajaran berbasis masalah memiliki
beberapa karakteristik yang diidentifikasi dan digunakan dalam beberapa
pengembangan kurikulum, antara lain :
1)
Ketergantungan
pada masalah untuk mengendalikan kurikulum.
2) Masalah
yang kurang terstruktur.
3) Siswa
memecahkan masalah.
4)
Siswa
hanya diberi panduan tentang bagaimana mengenali masalah.
5) Otentik,
kinerja berbasis penilaian.
Menurut pendapat tersebut, jelas bahwa pembelajaran berbasis
masalah ini sangat baik digunakan dalam kegiatan belajar mengajar siswa.
Permana (2004 : 11)
mengemukakan bahwa dalam pembelajaran berbasis masalah menjadi titik tolak
pembelajaran untuk memahami konsep, prinsip dan mengembangkan keterampilan
matematik. Berbeda dengan pembelajaran pada
umumnya, biasanya masalah disajikan pada akhir pembelajaran setelah
memahami konsep, prinsip dan keterampilan matematika.
Kemudian timbul suatu
pertanyaan, masalah yang bagaimana yang disajikan dalam pembelajaran berbasis
masalah? Masalah yang disajikan merupakan situasi atau masalah kehidupan sehari-hari
(kontekstual), matematik, yang sebagian
besar terdefinisi/tidak terstrukur dengan baik atau terdefinisi dengan baik
semuanya.
Menurut Nurhadi (dalam
Permana, 2004 : 11) pembelajaran berbasis masalah memiliki ciri-ciri, pengajuan
masalah, terintegrasi dengan disiplin ilmu lain, penyelidikan otentik,
menghasilkan produk atau karya dan memamerkannya. Adapun mengenai tujuan
pembelajaran berbasis masalah, yaitu membantu siswa mengembangkan kemampuan
berpikir dan pemecahan masalah, belajar berbagai peran orang dewasa melalui
keterlibatan mereka dalam pengalaman nyata, menjadi pebelajar yang otonom. Jadi
pembelajaran ini rancangannya sebagian besar untuk memberikan informasi sebanyak-banyaknya
kepada siswa, bukan dirancang khusus membantu guru.
Pembelajaran berbasis
masalah biasanya terdiri dari lima tahapan utama yang dimulai dengan guru
memperkenalkan siswa kepada suatu situasi masalah. Setelah itu pembelajaran diakhiri dengan
penyajian dan analisis hasil kerja. Seperti
yang termuat dalam tabel berikut.
Tahapan Pembelajaran Berbasis Masalah
Tahapan
|
Tingkah Laku Guru
|
Tahap
1
Orientasi
siswa kepada masalah
|
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang dibutuhkan,
memotivasi siswa agar terlibat pada aktivitas pemecahan masalah yang
dipilihnya.
|
Tahap
2
Mengorganisasikan
siswa untuk belajar
|
Guru
membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
|
Tahap 3
Membimbing penyelidikan individual dan
kelompok
|
Guru
mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan
eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.
|
Tahap
4
Mengembangkan
dan menyajikan hasil karya
|
Guru membantu
siswa merencanakan dan menyiapkan karya-karya yang sesuai seperti laporan,
video, dan model serta membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
|
Tahap 5
Menganalisis dan mengevaluasi proses
pemecahan masalah
|
Guru membantu siswa melakukan refleksi
atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
|
Sumber : (Permana,
2004 : 14).
Jika ditinjau ulang, hal yang paling utama dalam pembelajaran
berbasis masalah ini adalah pemecahan masalah, pemecahan masalah terjemahan
dari problem solving.
Berdasarkan teori belajar
yang dikemukakan oleh Gagne (dalam Suherman, dkk.., 2001 : 83) bahwa keterampilan
intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Hal
ini dapat dipahami sebab pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi
dari delapan tipe yang dikemukakan Gagne, yaitu : Signal learning, Stimulus-response
learning, chaining, verbal association, discriminating
learning, concept learning, rule learning, dan problem
solving (Suherman, dkk., 2001: 83).
Fisher (1987:3) mengemukakan problem-solving skills are
complementary to the traditional curriculum, they are the skills of succesful
living. These skills include general thinking skills, both creative and
critical, and spesific strategies such as observing, designing, decision
making, team working, brainstorming, implementing an evaluating solutions and
so on.
Jika diartikan pendapat
Fisher tersebut yaitu keterampilan-keterampilan pemecahan masalah adalah
pelengkap kurikulum (pembelajaran) tradisional, yaitu katerampilan-keterampilan
kecakapan hidup. Keterampilan itu mencakup keterampilan berpikir umum
(pemikiran umum), kedua-duanya kritis dan kreatif, dan strategi spesifik
seperti pengamatan, membuat rencana,
mengambil keputusan, kerja kelompok (regu), pengungkapan pendapat, menerapkan
pengevaluasi solusi-solusi dan
lain-lain. Dalam pemecahan
masalah ini banyak sekali keterampilan yang dilakukan.
Apabila dikaji
secara mendalam, pembelajaran
berbasis masalah ini
berisi problem solving. Adapun tentang pemecahan masalah (problem
solving) Ruseffendi (2006 : 241) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah
suatu pendekatan yang bersifat umum yang lebih menekankan kepada proses
daripada hasilnya. Gagne (dalam Ruseffendi, 2006 : 169) menyatakan bahwa
pemecahan masalah adalah tipe belajar yang paling tinggi karena kompleks
daripada tipe belajar sebelumnya. Maksudnya adalah tipe belajar yang klasikal.
Pengelompokkan tipe belajar yang dilakukan oleh Gagne adalah tipe belajar
isyarat, stimulus respon, rangkaian gerak, rangkaian verbal, memperbedakan,
pembentukan konsep, pembentukan aturan dan pemecahan masalah.
Ruseffendi (2006 : 169)
berpendapat bahwa ada lima langkah yang harus dilakukan dalam proses pemecahan
masalah, yaitu menyajikan masalah dalam bentuk yang lebih jelas, menyatakan
masalah dalam bentuk yang lebih operasional, menyusun hipotesis alternatif dan
prosedur kerja yang diperkirakan baik, menguji hipotesis dan melakukan kerja
untuk memperoleh hasilnya, dan menguji kembali hasil yang telah diperoleh. Jadi
penekanan pada pembelajaran dengan pemecahan masalah adalah pada apa yang harus
dipecahkan dan bagaimana dapat memecahkan masalah tersebut secara sistematis
dan logis.
Dalam pembelajaran berbasis
masalah, siswa memahami konsep atau materi dimulai dari belajar dan bekerja
pada situasi masalah (tidak terdefinisi dengan baik) yang
disajikan pada awal
pembelajaran, sehingga siswa
diberi kebebasan menggunakan nalarnya
untuk berpikir dan
mangaitkan topik-topik matematika
dalam mencari solusi dari situasi masalah yang diberikan.
Kegiatan lain
dalam pembelajaran berbasis
masalah yaitu melibatkan siswa dalam investigasi terhadap
situasi masalah sehingga memungkinkan mereka menginterpretasikan dan
menjelaskan fenomena dari situasi masalah dan membangun pemahamannya tentang
fenomena itu. Semua itu merupakan rasionalitas tentang bagaimana pembelajaran
berbasis masalah membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir, untuk
berkinerja dalam situasi kehidupan nyata dan belajar pentingnya orang dewasa.
2.
Pembelajaran Berbasis
Masalah Terbuka
Pembelajaran
berbasis masalah secara mendasar mengubah pandangan proses belajar mengajar
dari guru mengajar ke siswa belajar. Dalam pembelajaran berbasis masalah siswa
dituntut untuk bekerja secara kooperatif dan menjadi bagian dari kelompok (cooperative
learning). Adapun menurut Herman (dalam Permana, 2004: 15) bahwa tipe
masalah terbuka (open-ended) dianggap cocok dalam pembelajaran barbasis
masalah karena dengan masalah terbuka diterapkan problem solving yang
solusinya dengan berbagai cara untuk menyelesaikan dan berbagai variasi jawaban
dan/atau memiliki banyak alternatif cara untuk menyelesaikan dan memiliki satu
jawaban.
a)
Pendekatan Terbuka (Opend-Ended)
Shimada (dalam Mina, 2006 :
18) menyatakan bahwa pendekatan open-ended adalah pendekatan
pembelajaran yang menyajikan suatu permasalahan yang memiliki lebih dari satu
jawaban dan/atau metoda penyelesaian. Menurut Shimada pendekatan ini memberi siswa kesempatan untuk memperoleh
pengetahuan, pengalaman menemukan, mengenali dan memecahkan masalah dengan
beberapa cara berbeda.
Adapun menurut Nohda (dalam
Mina, 2006 : 18) menuturkan dengan jelas tujuan pembelajaran dengan open-ended
ini adalah mendorong kegiatan kreatif dan pemikiran matematik siswa dalam
memecahkan masalah matematika secara simultan. Dalam pelaksanaannya siswa
diminta untuk memecahkan masalah dengan membiarkan siswa mengembangkan cara
berpikirnya dan menggunakan strategi penyelidikan masalah yang meyakinkan
baginya. Pendekatan ini memberi keleluasan kepada siswa untuk melakukan
elaborasi lebih besar sehingga memungkinkan bertambahnya kemampuan berpikir
matematiknya dan meningkatnya kegiatan kreatif untuk setiap siswa.
Jika dilihat dari uraian di
atas pendekatan open-ended ini diartikan sebagai pendekatan yang dimulai
dengan menyajikan soal tak lengkap, dan pembelajaran berlangsung dengan
menggunakan banyak pendekatan atau cara yang benar dalam memecahkan soal yang
diberikan. Jika dilihat dari pendapat–pendapat di atas, maka dapat dikatakan
bahwa asumsi pendekatan open-ended ini adalah lebih mengutamakan proses
daripada hasil. Siswa dituntut untuk mengembangkan masalah. Pendekatan ini
memberi keleluasaan kepada siswa untuk mengemukakan jawaban secara aktif dan
kreatif.
Hal
seperti yang dikemukakan di atas menjadi keterbukaan dalam open-ended.
Adapun menurut Suherman, dkk.(2001 : 114) bahwa kegiatan matematik
dan kegiatan siswa
disebut terbuka jika
memenuhi ketiga aspek yaitu, kegiatan siswa harus terbuka, kegiatan matematik adalah
ragam berpikir, kegiatan siswa
dan kegiatan matematik merupakan satu kesatuan.
Menurut Shimada
(dalam Mina, 2006 : 19) ‘soal - soal
open–ended banyak dikembangkan di Jepang, soal-soal
tersebut banyak dipakai dalam pembelajaran matematika dari Sekolah Dasar sampai
Sekolah Menengah Atas’. Soal open-ended didefinisikan sebagai soal yang
memiliki beberapa jawaban benar atau memiliki beberapa cara untuk memecahkan
masalah dengan benar .
Hancock
(dalam Mina, 2006 : 19) mengatakan bahwa soal open-ended adalah soal
yang memiliki lebih dari satu cara penyelesaian yang benar, atau/dan mempunyai
lebih dari satu jawaban benar dan siswa dapat menjawabnya dengan cara sendiri
tanpa harus mengikuti proses pengerjaaan yang sudah ada. Demikian juga menurut
Berebson dan Garter (dalam Mina, 2006 : 19) mengidentifikasikan masalah open-ended
sebagai tipe masalah yang mempunyai banyak penyelesaian dan banyak cara
penyelesaian. Dari pendapat tersebut, yang menjadi ciri utama dari soal open-ended
ialah tersedianya kemungkinan banyak jawaban serta keleluasaan bagi siswa untuk
memakai sejumlah metoda yang dianggap paling sesuai dalam menyelesaikan soal
itu.
Pendapat
Mina (2006 : 20) bahwa jenis masalah yang digunakan dalam pembelajaran melalui
pendekatan open-ended adalah masalah yang tidak rutin dan bersifat
terbuka. Sedangkan dasar keterbukaan (openness) dapat diklasifikasikan
menjadi tiga tipe, yakni : process is open, end products are open,
dan ways to develop are open (Mina, 2006 : 20). Proses terbuka maksudnya
adalah tipe soal yang diberikan mempunyai banyak cara penyelesaian yang benar;
hasil akhir yang terbuka maksudnya adalah tipe soal yang diberikan mempunyai
jawaban yang banyak (multiple); cara pengembangan lanjutannya terbuka
adalah ketika siswa telah selesai menyelesaikan masalah awal mereka dapat
menyelesaikan masalah baru dengan mengubah kondisi dari masalah yang pertama
(asli). Dengan demikian pendekatan ini selain membuat siswa dapat menyelesaikan
masalah tetapi juga dapat mengembangkan masalah baru.
Setelah
ditinjau mengenai proses terbuka seperti yang telah dipaparkan di atas, jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan terbuka dapat
bermacam-macam dan tidak terduga. Pertanyaaan terbuka menyebabkan yang ditanya
untuk membuat hipotesis, perkiraan, mengemukakan pendapat, menilai, menunjukkan
perasaannya dan menarik kesimpulan (Ruseffendi, 2006 : 256). Selain itu
pertanyaan terbuka dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk memperoleh
wawasan baru dalam pengetahuan mereka sehingga tidak terjadi kemonotan dalam
proses berpikirnya. Seperti yang dituturkan oleh Nohda (dalam Mina, 2006 : 20) bahwa dengan
adanya soal tipe terbuka, guru berpeluang untuk membantu siswa dalam memahami
dan mengelaborasi ide-ide matematika siswa sejauh dan sedalam mungkin.
b) Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif
adalah terjemahan dari cooperative learning. Cooperative learning,
garis besarnya merupakan kelompok siswa dalam kelas. Adapun menurut Suherman,
dkk.(2001 : 218) “cooperative learning mencakupi suatu kelompok
kecil siswa yang bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah,
menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai tujuan
bersama lainnya”.
Model pembelajaran
kooperatif ini banyak
dikembangkan oleh para ahli, karena pembelajaran ini menarik dan mudah dibuat
variatifnya. Menurut Slavin (2009:8) bahwa dalam pembelajaran kooperatif, para
siswa akan duduk bersama dalamkelompok yang beranggotakan empat orang untuk
menguasai materi yang disampaikan oleh guru. Untuk kebutuhan tertentu mungkin
anggota kelompok dalam model pembelajaran kooperatif bisa kurang atau lebih
dari empat orang.
Menurut
Slavin (2009:33) bahwa tujuan pembelajaran kooperatif adalah untuk memberikan
para siswa pengetahuan, konsep, kemampuan, dan pemahaman yang mereka butuhkan
supaya bisa menjadi anggota masyarakat yang bahagia dan memberikan kontribusi.
Jika ditinjau meurut pendapat tersebut, jelas bahwa pembelajaran kooperatif
sangat memiliki efek positif untuk siswa ketika mereka berada dalamkalangan
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Fisher, R. (1987). Problem Solving In Primary Schools. St Mary Cary, Kent: Multiplex Techniques.Ltd. (Printed in great
Britain)
Mina, E. (2006). Pengaruh
Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended Terhadap Kemampuan
Berpikir Kreatif Matematika Siswa SMA Bandung. Tesis pada Pasca Sarjana UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Permana, Y. (2004).
Mengembangkan Kemampuan Penalaran dan Koneksi Matematika Siswa SMA Melalui
Pembelajaran Berbasis Masalah. Tesis pada Pasca Sarjana UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Ruseffendi, E.T.
(2006). Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Konpetensinya dalam
Pengajaran Matematika Untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: PT Tarsito.
Slavin, R.E.
(2009). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Penerbit
Nusa Media.
Suherman, E., dkk.
(2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI
Bandung.
Yamin, M. (2011). Paradigma
Baru Pembelajaran. Jakarta: Gaung Persada (GP) Press.
0 komentar:
Posting Komentar