Subscribe:

Ads 468x60px

Sample Text

Rabu, 06 Februari 2013

Makalah Profesi Kependidikan



" PENGEMBANGAN KURIKULUM UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN GURU MASA KINI "

UU NO. 14/2005 DAN 
PROFESIONALISME GURU

Dalam proses pembelajaran, guru merukapakan seorang pengembang kurikulum. Agar proses pembelajaran berkualitas dan relevan, up to date dengan silabus dan mengetahui sedini mungkin tentang pentingnya profesionalisme dalam menjalankan tugasnya. Seorang guru juga perlu memperhatikan adanya kecenderungan globalisasi yang berkonsekuensi pada perhatian terhadap paradigma, dari paradigma lama ke paradigma baru guru. Globalisasi, sebagai produk modernisasi yang dimotori barat, telah berdampak terhadap kemajuan peradaban dunia, yang merupakan suatu pelajaran penting bagi guru untuk senantiasa melakukan intopeksi, mengedepankan profesionalisme, responsif, dan inovatif terhadap tuntutan paradigma baru guru tersebut.
Edward Salles (2006: 62) menuturkan bahwa pendidikan seolah-olah jalur produksi yang produknya merupakan sebuah subjek dari proses jaminan mutu.
Profesi dapat didefinisikan sebagai bidang usaha manusia berdasarkan pengetahuan. Dalam hal ini, keahlian dan pengalaman pelakunya diperlukan oleh masyarakat. Definisi ini, setidaknya meliputi aspek: adanya ilmu pengetahuan tertentu; adanya aplikasi kemampuan/percakapan tertent; menggunakan teknik-teknik ilmiah; dan berkaitan dengan kepentingan umum. Perhatian terhadap profesi keguruan ini di Indonesia sudah di mulai sejak zaman kolonial.
Tugas dan peran guru semakin berat, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan dituntut untuk mampu mengimbangi bahkan melampaui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang dalam masyarakat. Melalui sentuhan guru di sekolah diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap mengahadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi. Sekarang dan ke depan, sekolah/madrasah (pendidikan) harus mampu menciptakan SDM yang berkualitas, baik secara keilmuan maupun secara sikap mental.
Oleh karena itu, dibutuhkan sekolah/ madrasah unggul dan berkualitas yang memiliki ciri-ciri, seperti diungkapkan Louis V.Gerstner, Jr., dkk. (1995): (1) kepala sekolah yang dinamis dan komunikatif dengan kemerdekaan memimpin menuju visi keunggulan pendidikan; (2) memiliki visi, misi, dan strategi untuk mencapai tujuan yang telah dirumuskan dengan jelas; (3) guru-guru yang kompeten dan berjiwa kader yang senantiasa bergairah dalam melaksanakan tugas profesionalnya secara inovatif; (4) siswa-siswa yang sibuk, bergairah dan bekerja keras dalam mewujudkan perilaku pembelajaran; (5) masyarakat dan orang tua yang berperan dalam menunjang pendidikan.
Dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan nasional, diperlukan guru dalam jumlah yang memadai dengan standar mutu kompetensi dan profesionalisme yang mempuni. Untuk mencapai jumlah guru profesional yang mencukupindan dapat menggerakkan dinamika kemajuan pendidikan nasional, diperlukan suatu proses yang berkesinambungan, tepat sasaran,dan efektif. Namun kenyataannya, masih banyak guru yang belum memenuhi syarat untuk disebut sebagai guru profesional. Kenyataan ini tentu saja menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat bagi pemerintah.
Bagaimana mentalitas profesional guru dihadapkan pada tantangan yang kontradiktif dalam realitas operasional pendidikan? Seperti diungkapkan Abduhzen ( Sumatera Ekspres, 15/4/2011), Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Besar (PB) PGRI, bahwa beberapa pembaharuan sistem pelaksanaan Ujian Nasional 2011( tingkat SMA/MA) berpotensi terjadi kenakalan sekolah/madrasah. Pembaharuan yang dimaksud adalah sistem pengacakan naskah soal di masing-masing kelas denagn membuat lima variasi soal. Cara tersebut digadang dapat menekan kecurangan oknum guru yang membantu siswa mengerjakan soal UN. Salah satu bentuk kenakalan itu adalah mempermainkan nilai rapor. Mengapa guru atau sekolah/ madrasahsampai harus memperjuangkan kelulusan siswa dengan cara yang kurang etis? Hal ini disebabkan guru dan sekolah madrasah memiliki kewajiban meluluskan siswa, yang kadang harus melakukan pembentukan tim sukses di sekolah/madrasah. dari hasil penelitian yang dilakukan pengurus besar PGRI, Abduhzen menturkan bahwa sebetulnya rata-rata Kepala Daerah meminta angka kelulusan 90 hingga 97%. Tekanan kepada guru dilakukan oleh kepala sekolah/madrasah. Kepala sekolah/madrasah juga ditekan oleh pemimpin pada level atasnya seperti kepala daerah.
Profesi guru, seperti dikatakan Safarina HD (2008: 5), adalah suatu profesi yang membutuhkan kualifikasi, kompetensi dalam tugas sebagai pendidik, memahami perkembangan anak dalam mendukung proses pembelajaran di kelas. Guru merupakan pendidik profesional karena secara implisit seorang guru telah merelakan dirinya bertanggung jawab terhadap pendidikan para anak didik. Dalam hal ini, para orang tua mengharapkan amanah yang disampaikan kepada sekolah/para guru agar seoptimal mungkin dapat mengembangkan potensi, bakat, dan minat anak-anak mereka. Adanya pelimpahan amanah ini disebabkan tidak semua orang dapat menjadi guru karena profesi tersebut membutuhkan profesionalaisme dan mengedepankan kepentingan sosial dan keikhlasan dalam bertugas.
Seorang yang memilih profesi guru dalam kehidupannyaidealnya yang bersangkutan harus mengembangkan tiga kemampuan/kompetensi utama, yaitu pribadi, profesional, dan sosial. Dalam proses pembelajaran, keberhasilan seorang guru terlatak pada kepribadian, penguasaan metode, frekuensi dan intensitas aktivitas interaktif guru dan siswa, wawasan, penguasaan materi, dan penguasaan proses pembelajaran. karena itu, persyaratan menjadi guru tidak hanya memerlukan kecerdasan, terampil, pintar, dan profesianal, tetapi juga perlu memiliki keunggulan akhlkul karimah. Meminjam istilah JeDe Kuncoro (2007:76), seorang profesional (guru) perlu memiliki kompetensi yang meliputi soft competency ( sikap dan karakter pribadi ) dan hard competency ( Keterampilan dan pengetahuan ).
Dalam UU No. 14/2005 dikatakan, profesi guru dan dosen merupakan bidang  pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip: (a) memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; (b) memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia; (c) memiliki kualifikasiakademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas; (d) memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas; (e) memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan; (f) memperoleh penghasilan yang ditentukankan sesuai dengan profesi kerja; (g) memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; (h) memiliki jaminan perlindungan hukum dalam menjalankan tugas keprofesionalan; (i) memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesioanalan guru (Undang-Undang RI Tentang Pendidikan dan Peraturan Pemerintahan, ( Soetjipto & Raflis, 2007:18; dan Ravik Karsidi, 2010).
Bila memerhatikan substansi UU No. 14/2005 dan memerhatikan animo masyarakat terhadap profesi guru dalam tujuh tahun terakhir 2005-2011, prospek profesi guru tampak semakin diminati oleh berbagai lapisan masyarakat. Faktor pendorongnya dapat disebabkan oleh adanya perbaikan kesejahteraan guru setelah memperoleh sertifikat guru, seperti dimanatkan dalam Undang-Undang No.14/2005.
Memang, untuk menjadi seorang profesional tidaklah mudah. Seorang guru yang ingin menjadi profesional, dengan senantiasa beradaptasi dan merespons paradigma baru tantangan profesi guru, ia hendaknya memiliki motivasi kuat untuk menjadi maju dan profesional sejati. Sudah barang tentusemua guru bisa menjadi profesional asalkan ada niat, motivasi, dan komitmen melakukannya.
Peran pendidikan dalam upaya menuju bangsa indonesia yang maju dan berperadaban ke depan pada abad ke-21 ini harus menjadi terdepan dalam prioritas pembangunan SDM. Kualitas pendidikan tidak terlepas dari peranan kualitas proses pembelajaran, salah satunya ditentukan oleh pendidik/guru yang berkualitas. Agarproses pembelajaran berkualitas dan tetap relevan, up to datedengan kebutuhan SDM masa depan, seorang guru diharapkan senantiasa mengedepankan profesionalisme dan beradptasi dalam iklim akademik yang dinamis dan dalam paradigma baru. Oleh karena itu, dikatakan Kunandar (2007 :41), dibutuhkan seorang guru yang profesional, visioner, dan mampu mengelola proses pembelajaran dengan efektif dan inovatif, yang menyenangkan anak didik dan guru itu sendiri.

AKTUALISASI KURIKULUM DI SEKOLAH/MADRASAH DAN KEPRIBADIAN ANAK DIDIK

Secara sosiologis, pendidikan merupakan salah satu institusi pokok dalam masyarakat. Pertama, keluarga yang menjaga dan membimbing generasi muda/anak didik agar menjadi mandiri. Kedua, ekonomi yang berfungsi menghasilkan dan mendistribusikan barang-barang. Ketiga, pemerintah yang berfungsi memberi dan melindungi masyarakat. Keempat, agama yang bertugas menjawab permasalahan spiritual. Kelima, pendidik yang berfungsi mendidik masyarakat (Abdullah Idi, 2007: 151). Dalam hal ini, pendidikan memiliki peranan strategis dalam mencerdaskan masyarakat dan memajukan peradaban suatu bangsa. Pemerintah juga memiliki tanggung jawab terdepan dalam proses memajukan pendidikan, sebagai wujud dari pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Proses pemeblajaran di sekolah/madrasah dalah suatu upaya aktualisasi dua tipe kurikulum: ideal curriculum dan actual curriculum. Kurikulum yang pertama, ideal curriculum, merupakan kurikulum yang dicita-citakan, dalam bentuk rencana, ideal, teks yang belum dilaksanakan. Sedangkan kurikulumyang kedua, actual curriculum, merupakan kurikulum yang dilaksanakan dalam proses pembelajaran. Optimalisasi kualitas pembelajaran disekolah/madrasah dapat dilihat pada sejauh mana adanya kesenjangan antara kurikulum ideal dan kurikulum aktual itu.
Semakin besar adanya kesenjangan antara kedua jenis kurikulum tersebut, semakin tinggi tingkat kualitas pembelajaran. Sebaliknya, semakin rendah adanya kesenjangan antara keduanya, semakin besar keberhasilan dalam proses pembelajaran. Tetapi sebenarnya antara ideal curriculum dan actual curriculum tetap ada kesenjangan, artinya tidak mungkin dalam proses pembelajaran dapat terlakasana sepenuhnya, seprti diharapkan dalam ideal curriculum.Tetapi, yang terpenting bagi seorang guru, level kesenjangan itu sedapat mungkin ditekan.
Tingkat keberhasilan suatu pembelajaran juga ditentukan beragam komponen, seperti fasilitas, tenaga pengajar, efektivitas metode yang digunakan, iklim belajar, kompetisi guru, dan keadaan anak didik. Apabilaterjadi kelemahan pada suatu komponen, berpengaruh terhadap kinerja komponen lain dalam sistem pembelajaran yang telah ditetapkan/direncanakan. Guru potensial dan kompeten dalam melaksanakan tugas akan berarti jika didukung dengan fasilitas yang memadai. Sama halnya guru kompeten, fasilitas mendukung, dan lingkungan yang representatif juga tidak akan ada banyak bermanfaat jika anak didik anak rendah. Dalam teori proses pembelajaran, antara in-put, proses, dan out-putmestilah berjalan sejajar dalam mendukung proses pembelajaran.
Persoalan kurikulum ideal adalah persoalan substansi dari kurikulum yang perlu ditransformasikan dalam kurikulum aktual dalam proses pembelajaran di kelas. Proses pembelajaran sedapat mungkin dapat membantu anak didik dalam beradaptasi, mengatasi beragam persoalan masyarakat di mana mereka berada, dan pemberian bekal kehidupan masa depan.
Pembenahan pendidikan nasional setidaknya perlu dilakukan terhadap beberapa kebijakan nasional harus dilakukan baik dalam arti ideal maupun aktual. Artinya, pembenahan substansi yang relevan dengan kebutuhan masyrakat Indonesia yang pluralistik dengan nilai-nilai luhur sebagai identitasnya pada abad ke-21. Kemudian, kurikulum ideal, katakanlah KTSP, sebagai produk paradigma baru pendidikan nasional perlu diikuti kemampuan memberi respons dan jawaban positif bagi kehidupan masa depan. Perbaikan pelayanan pendidikan nasional yang berkualitas bukanlah persoalan sepele. Otonomi daerah pun belum dikuti otonomi pendidkan, seprti yang diharapkan. dalam hal ini, desentralisasi pemerintah belum sepenuhnya diikutidengan desentralisasi pendidikan. hanya sedikit jumalah daerah (propinsi/kabupaten/kota) yang memberikan anggaran pendidikan diatas 20%. Hal ini disebabkan masih sedikitnya pemerintah daerah dan aparatnya yang memiliki visi, misi, program, dan komitmen terhadap urgensi pembangunan sektor pendidikan. Perlu meningkatkan kesadaran dan komitmen dari elite terkait akan pentingnya investasi pendidikan dalam pembangunan. Ivestasi pendidikan tidak mengenal iklim dan waktu tidak menguntungkan. Investasi pendidikan tidak hanya dapat ditinjau dari profit investment semata, tetapi juga harus diliat dari sisihuman investment.
Ketika kehidupan anak didik dihadapkan sejumlah dilema dan anomali, sekolah/madrasah harus meningkatkan perannya berkaitan moral dan akhlak anak didik di samping peran transfer of knowledge. Maraknya kasus perkelahian antarpelajar, terlibat narkoba, pergaulan bebas, dan tindak kriminal pada anak usia sekolah, seharusnya menuntut optimalisasi peran orang tua/keluarga, sekolah/madrasah, dan masyarakat/negara secara sinergis dan integral. Rusaknya kepribadian anak didik sesungguhnya ancaman kerusakan bagi masa depan bangsa.
Lebih dari itu, anak didik membutuhkan pengetahuan dan pengalaman tentang pol kehidupan yang mengedepankan kehidupan toleransi. Adalah suatu fakta bahwa kerusuhan sosial bernuansa sosial, etnis, dan agama di negeri ini, sesungguhnya tidak terlepas dari karakteristik kepribadian sebagian masyarakat yang tiadak toleran terhadap perbedaan. Padahal, negara besar dan masyarakat yang plural seperti Indonesia membutuhkan sikap toleransi yang tinggi dari segenap warga negara demi menjaga integrasi sosial dan bangsa. Memang, terjadinya suatu konflik dan kerusuhan sosial jarang sekali disebabkan variabel tunggal, akan tetapi ditentukan banyak variabel, seperti pengetahuan, pendidikan, pengalaman, pemahaman nilai agama, kesenjangan sosial-ekonomi terlalau tajam, dan lain-lain. Namun, toleransi warganya senantiasa perlu dipupuk dan dijaga kelestariannya. Dalam hal ini, peran dan tanggung jawab sekolah/madrasah, orang tua/kelurga, dan masyarakat tidak dapat dipisahkan.
Proses pembentukan kepribadian anak didik (cerdas, berakhlak, toleransi, arif, bijaksana, rukun, kerja keras, disiplin, jujur, menepati janji) melalui suatu proses yang panjang yang menuntut optimalisasi peran, fungsi dan teladan semua pihak. Di Indonesia, persoalan keterkaitan dengan toleransi berkaitan dengan etnis agaman lebih, dan kesenjangan sosial-ekonomi/kemiskinan menjadi perhatian penting akhir-akhir ini. Toleransi pada anak didik agaknya sulit akan muncul ketika keadaan kehidupan masyarakat didalam mayoritas keadaan miskin. Jika mengharapkan tumbuhnya sikap dan perilaku toleransi tumbuh dan berkembang pada anak didik, perahtian terhadap kesejahteraan masyarakat/penurunan angka kemiskinan mutlak dilakukan. Agaknya akan sulit tercipta perilaku dan sikap toleransi pada anak didk secra spontanitas. Sebab, hal itu berawal dari banyak variabel/faktor yang terlibat, seperti tingkat kesejahteraan, pendidikan, dan komitmen politik. Jika, sejumlah persoalan berbangsa tidak dibenahi terlebih dahulu, sikap dan perilaku toleransi akan sulit diwujudkan pada masyarakat pluralistik, bahkan sangat mungkin potensi konflik sulit di prediksi.
Kedepan, perlu upaya sadar dalam penguatan kepribadian anak didik. Sekolah/madrasah memiliki peran penting dalam menciptakan generasi muda/siswa dalam mewujudkan kepribadian anak didik yang diharapkan. Sejalan dengan hal itu, pemerintah mulai mendorong pentingnya pendidikan karakter bagi anak didik. Robert Bala mengatakan bahwa selain belajar secara formal disekolah/madrasah, belajar sesungguhnya punya sokongan publik/masyarakat sehingga tidak hanya dilaksanakan di ruang kelas, tetapi juga di semua lini kehidupan sehari-hari: dari pasar, jalan, lembaga, publik, aktivitas olahraga, hingga media massa. Apa pun yang dilakukan pihak terkait akan menjadi nilai penting sebagai bekal mereka nantinya.
Dalam menganalisis hambatan-hambatan dalam membentuk sikap dan perilaku kepribadian anak didik, setidaknya ada beberapa hal yang berkaitan. Pertama, pendidikan informal bertalian dengan peran institusi keluarga dalam mengemban tugasnya sebagai pendidik pertama dan utama. Kebiasaan sikap dan perilaku toleransi anak didik misalnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak masing-masing saling mempengaruhi dan membutuhkan. Seorang anak yang terbiasa mendapat kasih sayang dari anaggota keluarga, saling tolong-menolong, jujur, disiplin, toleran, dan sederhana, diharapkan akan membantu mereka dalam pergaulan diluar rumah nantinya, di sekolah/madrasah dan masrakat. Kualitas pendidkan informal di keluarga dapat membantu anak didik dalam bersikap toleransi dengan orang lain di luar rumah (sekolah/madrasah dan masyarakat).
Kedua, pendidikan formal di sekolah/madrasah. Seorang guru diharapkan dapat meneruskan nilai-nilai edukatif telah tertanam dalam keluarga dan mengembangkan basis ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan silabus kurikulum yang berlaku pada jenjang satuan pendidikan. Sekolah/madrasah terdiri dari pendidik/guru, anak didik/siswa,dan staf-administrasi saling membantu dan membutuhkan. Terlebih pentingnya kualitas guru, yang disebut pendidik profesional, sangat dituntut dalam menumbuhkan nilai-nilai edukatif dan perilaku toleransi anak didik.
Ketiga, pendidikan non-formal di masyarakat. Kontak sosial ketiga ini merupakan tempat pergaulan manusia dan merupakan lapangan pendidikan yang luas, yaitu adanya hubungan antara dua orang atau lebih tak terbatas. Hubungan sekolah/madrasah sebagai institusi sosial perlu memerhatikan relevansi kurikulum dengan kebutuhan masyarakat; metode yang digunakan harus mampu merangsang anak didik untuk mengenal kehidupan nyata di masyarakat; menumbuhkan siskap anak didik/siswa untuk belajar dan bekerja dari kehidupan sekitarnya; sekolah selalu berinteraksidengan kehidupan masyarakat sehingga kebutuhan kedua pihak akan terpenuhi; dan sekolah diharapkan dapat mengembangkan masyarakat dengan cara melakukan pembaruan tata kehidupan masyarakat.
Membentuk perilaku dan sikap toleran anak didik tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi memerlukan suatu proses waktu yang panjang. Hambatan-hambatan anak didik dalam berperilaku toleran, arif, dan rukun sesungguhnya perlu dilihat pada tiga bentuk kontak sosial pada lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal, yang saling berkaitan dan saling membutuhkan menuju suatu kepribadian anak didik yang diharapkan adanya kondisi kontak sosial yang positif dan saling mendukung dalam institusi pendidikan keluarga, sekolah/madrasah, dan masyarakat.
Apa pun kenyataan tentang kepribadian anak didik sebetulnya sebagai produk sekolah/madrasah atau pendidikan terkini. Ke depan, menempatkan pentingnya sektor pendidikan diposisikan sebagai prioritas investasi pembangunan nasional tidak dapat dihindari, bila bangsa ini mengharapkan sebagai suatu bangsa yang kuat ke depan. kepribadian anak didik sesungguhnya berkorelasi positif terhadap peran dan fungsi  sekolah/madrasah juga peran dan fungsi keluarga dan masyarakat secara integral dan bertanggung jawab terahadap kualitas pembelajaran di sekolah/madrasah dan kualitas pendidikan nasional. Karenaya, optimalisasi peran dan fungsi sekolah/madrasah sangat dituntut dalam mencapai tujuan pembelajaran menuju terciptanya suatu kepribadian anak didik sebagai bekal untuk merespons tantangan kehidupan global di masa depan yang dinamis.

FUNGSI DAN PERAN
PENGEMBANGAN KURIKULUM

Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi bahan pelajaran serta cara yang digunakan aktivitas belajar mengajar. Kurikulum dipandang sebagai program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan pendidikan. Apabila masyarakat dinamis, kebutuhan anak didik pun akan dinamis sehingga tidak tersing dalam masyarakat. Sebab, masyarakat berubah berdasarkan kebutuhan.
A. Fungsi Pengembangan Kurikulum
Dalam aktivitas belajar mengajar, kedudukan kurikulum sangat krusial, karena dengan kurikulum anak didik akan memperoleh manfaat. Namun, di samping kurikulum bermanfaat bagi anak didik, ia juga mempunyai fungsi-fungsi lain sebagai berikut.
1.  Fungsi Kurikulum dalam Rangka Pencapaian Tujuan Pendidikan
Kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan sekolah tertentuyang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai sehingga salah satu langkah yang perlu dilakukan adalah meninjau kembali tujuan yang selama ini digunakan oleh sekolah yang bersangkutan (Soetopo & Soemanto, 1993: 17).
Di Indonesia, ada empat tujuan pendidikan utama yang secara hierarkis dapat dikemukakan, yaitu tujuan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler, dan tujuan instruksional. Dalam pencapaian tujuan pendidikan yang dicita-citakan, tujuan-tujuan tersebut mesti dicapai secara bertingkat dan saling mendukung, sedangkan keberadaan kurikulum di sisniadalah sebagai alat untuk mencapai tujuan (pendidikan).

2.  Fungsi Kurikulum
Keberadaan kurikulum sebagai organisasi belajar tersusun merupakan suatu persiapan bagi anak didik. Anak didik diharapkan mendapat sejumlah pengalaman baru yang di kemudian hari dapat dikembangkan seirama dengan perkembangan anak, agar dapat memenuhi bekal hidupny nanti.
Kalau kita kaitkan dengan Pendidikan Islam, pendidikan mesti diorientasikan kepada kepentingan peserta didik, dan perlu diberi bekal pengetahuan untuk hidup pada zamannya kelak. Dalam hadis Nabi SAW disebutkan: “Didiklah anak-anakmu,karena mereka diciptakan untuk menghadapi zaman yang lain dari zamanmu”. Sebagai alat dalam mencapai tujuan pendidikan, kurikulum diharapkan mampu menawarkan program-program pada anak didik yang akan hidup pada zamannya, dengan latar belakang sosio historis dan kultural yang berbeda dengan zaman di  mana kedua orangtuanya berada.

3. Fungsi Kurikulum bagi Pendidik
Guru merupakan pendidik profesional, yang secara implisit telah merelakan dirinya untuk memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang ada di pundak para orangtua. Tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, berarti orangtua sudah melimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada pendidik, tentunya orangtua berharap agar anaknya menemukan guru yang baik, kompeten dan berkualitas (Ramayulis, 1996: 39).
Adapun fungsi kurikulum bagi guru atau pendidik adalah sebagai pedoman kerja dalam menyusun dan mengorganisasi pengalaman belajar para anak didik dan pedoman untuk mengadakan evaluasi terhadap perkembangan anak didik dalam rangka meyerap sejumlah pengalaman yang diberikan.
Dengan adanya kurikulum, sudah barang tentu tugas pendidik sebagai pengajar dan pendidik lebih terarah. Pendidik juga merupakan salah satu faktor yang sangat menetukan dan sangat penting dalam proses pendidikan, dan merupakan salah satu komponen yang berinteraksi secara aktif dengan anak didik dalam pendidikan.
Langeveld mengajukan lima komponen yang berinteraksi secara aktif dalam proses pendidikan berikut.
Ø  Komposisi tujuan pendidikan, sebagai landasan ideal pendidikan dan yang dicapai melalui proses pendidikan tersebut;.
Ø  Komponen terdidik, sebagai masukan manusiawi yang diperlukan sebagai subjek aktif dan dikenai proses pendidikan tersebut.
Ø  Komponen alat pendidikan, sebagai unsur sarana atau objek yang dikenakan kepada terdidik dalam proses pendidikan.
Ø  Komponen pendidik , sebagai manusiawi yang membantu mengenalkan alat pendidikan kepada anak didik dan mengarahkan proses pendidik menuju sasaran yang diharapkan sebagaimana tercantum dalam tujuan pendidikan.
Ø  Komponen lingkungan pendidikan, sebagi unsur suasana yang membantu dan memberikan udara segar dalam proses pendidikan (Supeno, 1995: 42-43).
Dari uraian diatas, keberadaan pendidik memang sangat krusial dalamproses pendidikan. Kurikulum merupakan alat mencapai tujuan pendidikan yang di harapkan dapat meringankan sebagian tugas pendidik dalam proses belajar mengajar yang efektif dan efisien, karenanya kurikulum mempunyai fungsi sebagai pedoman.
Sebagai pedoman, kurikulum dijadikan alat yang berfungsi untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. kurikulum sekolah memuat uraian mengenai jenis-jenis program apa yang dilaksanakan di sekolah tersebut, bagaimana menyelenggarakan setiap jenis program, siapa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaannya, dan perlengkapan apa yang dibutuhkan.
Atas dasar itu, sekolah dapat merencanakan secara lebih tepat jenis tenaga apa yang masih dibutuhkan sekolah, keterampilan-keterampilan apa yang masih perlu di kembangkan di kalangan para perugas yang ada sekarang, perlengkapan apa yang masih perlu diadakan, dan lain-lain.

4.  Fungsi Kurikulum bagi Kepala/Pembina Sekolah/Madrasah
Kepala sekolah merupakan administrator dan supervisor yang mempunyai tanggung jawab terhadap kurikulum. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah dan para pembina lainnya adalah sebagai berikut.
Ø  Sebagai pedoman dalam mengadakan fungsi supervisi, yaitu memperbaiki situasi belajar.
Ø  Sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam menciptakan situasi untuk menunjang situasi belajar anak ke arah yang lebih baik.
Ø  Sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi dalam membentuk bantuan kepada guru atau pendidik agar dapat memperbaiki situasi mengajar.
Ø  Sebagai seorang administrator yang menjadikan kurikulum sebagai pedoman untuk pengembngan kurikulum pada masa mendatang.
Ø  Sebagai pedoman untuk mengadakan evaluasi atas kemajuan belajar mengajar (Soetopo & Soemanto, 1993: 19).

5.  Fungsi Kurikulum bagi Orangtua
Bagi orangtua, kurikulum difungsikan sebagai bentuk adanya partisipasi orangtua dalam membantu usaha sekolah dalam memajukan putra-putrinya. Bantuan tersebut dapat berupa konsultasi langsung dengan sekolah/guru mengenai masalah-masalah yang menyangku anak-anak mereka. Bantuan berupa pemikiran, materi dari orangtua atau masyarakat anak dapat melalui lembaga komite sekolah. Dengan membaca dan memahami kurikulum sekolah, para orangtua dapat mengetahui pengalaman belajar yang diperlukan anak-anak mereka sehingga partisipasi orangtua ini pun tidak kalah pentingnya dalam menyukseskan proses belajar mengajar di sekolah.
Meskipun orangtua telah menyerahkan anak-anak mereka kepada sekolah agar diajarkan ilmu pengetahuan dan dididik menjadi orang yang bermnfaat bagi pribadinya, orangtua, keluarga, masyarakat, bangsa, dan agama, namun tidak berarti tanggung jawab kesuksesan anaknya secara total diserahkan kepada sekolah alias pendidik. Keberhasilan tersebut merupakan hasil dari sistem kerja sama berdasarkan fungsi masing-masing, yaitu orangtua, sekolah dan guru. Karenanya, pemahaman orangtua mengenai kurikulum tampaknya menjadi hal yang mutlak.

6.  Fungsi bagi Sekolah Tingkat di Atasnya
Fungsi kurikulum dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua. Pertama, pemeliharaan keseimbangan proses pendidikan. Pemahaman kurikulum yang digunakan oleh sekolah pada tingkatan di atasnya dapat melakukan penyesuaian di dalam kurikulumnya hal-hal berikut.
Ø  Jika sebagian kurikulum sekolah bersangkutan telah  diajarkan pada sekolah yang berada di bawahnya, sekolah dapat meninjau kembali perlu tidaknya bagian tersebut diajarkan.
Ø  Jika keterampilan-keterampilan tertentu yang diperlukan dalam mempelajari kurikulum  suatu sekolah belum diajarkan pada sekolah yang berada di bawahnya, sekolah dapat mempertimbangkan masuknya program tentang keterampilan-keterampilan ini ke dalam kurikulumnya.
Kedua, penyiapan tenaga baru. Jika suatu sekolah berfungsi menyiapkan tenaga pendidik bagi sekolah yang berada di bawahnya, perlu sekali sekolah tersebut memahami kurikulum sekolah yang berada di bawahnya itu. Pengetahuan tentang kurikulum sekolah yang berada di bawahnya berkaitan dengan pengetahuan tentang isi, organisasi atau susunan, serta cara pengajarannya. Dengan harapan, hal itu akan membantu sekolah dan pendidik dalam melakukan revisi-revisi dan penyesuain kurikulum. Sebagai contoh, jika pengajaran IPA di SD/MI menggunakan metode eksperimen, pelajaran tentang cara pelaksanaan metode eksperimen hendaknya lebih diinterpretasikan di SMP/MTs; jika pada kurikulum SD/MI telah diperkenalkan Matematika modern, pelajaran mengenai Matematika di SMP/MTs hendaknya disesuaikan dengan pendekatan di SD/MI dan seterusnya (Ibid, :20).

7.  Fungsi bagi Masyarakat dan Pemakai Lulusan Sekolah/Madrasah
Kurikulum suatu sekolah juga berfungsi bagi masyarakat dan pihak pemakai lulusan sekolah yang bersangkutan (Ibid.: 21). Dengan mengetahui kurikulum suatu sekolah, masyarakat sebagai pemakai lulusan, dapat melaksanakan sekurang-kurangnya dua macam berikut.
Ø  Ikut memberikan kontribusi dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan yang membutuhkan kerja sama dengan pihak orangtua dan masyarakat.
Ø  Ikut memberikan kritik dan saran konstruktif demi penyempurnaan program pendidikan di sekolah, agar lebih serasi dengan kebutuhan masyarakat dan lapangan kerja.
Di samping mempunyai fungsi di atas, kurikulum juga memiliki fungsi lain yang memiliki pendekatan berbeda dengan sebelumnya. Berikut ini beberapa fungsi yang dikemukakan Alexander Inglis dalam bukunyaPrinciple of Secondary Education (1981) (Hamalik 1990:9).
a.  Fungsi Penyesuaian
Anak didik hidup dalam suatu lingkungan sehingga ia dituntut untuk mampu menyesuaikan diri terhadap lingkungan tersebut. Lingkungan senantiasa berubah, tidak statis, bersifat dinamis sehingga anak didik diharapkan mampu menyesuaikan diri dengan kondisi seperti itu. Semuanya mesti disesuaikan dengan kondisi dan keadaan perorangan. Program pendidikan harus diarahkan pada aspek kehidupan, sarana, dan usaha anak didik dalam mengembangkan kehidupannya sebagai individu, anggota masyarakat atau warga negara.
Muhammad Fadhil Al-jamali mengungkapkan bahwa pendidikan yang dapat disarikan dari Al-Quran beorientasi:

1.      Mengenalkan individu akan perannya di antara sesama makhluk dengan tanggung jawabnya di dalam hi hidup ini;
2.      Mengenalkan individu akan individu sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat;
3.      Mengenalkan individu akan alam ini dan mendorong mereka mengetahui hikmah diciptakannya alam serta memberikan kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat dari alam;
4.      Menegakkan individu akan pencipta alam ini (Allah) dan memerintahkan agar beribadah kepada-Nya (Al-Jamali, 1986:3).
b.  Fungsi Pengintegrasian
Dalam hal ini, orientasi dan fungsi kurikulum adalah mendidik anak didik agar mempunyai pribadi yang integral. Mengingat anak didik merupakan bagian integral dari masyarakat, pribadi yang terintegrasi itu akan memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan atau pengitegrasi masyarakat.
Implikasinya, anak didik menjadi bagian integral dari masyarakat di mana pun ia berada. Kurikulum diharapkan mampu memprsiapkan anak didik agar mampu mengintegrasikan diri dalam masyarakat dengan pengetahuan, pengalaman, keterampilan, dan cara berpikir yang dimiliki sehingga ia dapat berperan memberi kontribusi kepada masyarakat.

c.  Fungsi Perbedaan
Kurikulum hendaknya dapat memberi pelayanan terhadap perbedaan-perbedaan perorangan dalam masyarakat. Pada prinsipnya, perbedaan akan mendorong orang berpikir kritis dan kreatif, dan akhirnya akan menggerakkan kemajuan sosial dalam masyarakat. Bukan berarti dengan perbedaan tersebut solidaritas dan integrasi akan terabaikan, namun adanya perbedaan bisa juga menghindari terjadinya stagnasi sosial.
Pada prinsipnya, potensi yang dimiliki anak didik itu memang berbeda-beda, dan peran peran pendidikanlah untukmengembangkan potensi-potensiyang ada itu secara wajar sehingga anak didik dapat hidup dalam masyarakat yang senantiasa beraneka ragam namun satu tujuan pembangunan tersebut. Berkaitan dengan diferensiasi pada anak didik tersebut, Nabi Saw. Bersabda, ”Kami para Nabi diperintahkan untuk menempatkan manusia sesuai dengan potensi akalnya” (HR Abu Bakar bin Al-Syakir).
Barangkali dapat diinterpretasikan bahwa pendidikan dan kurikulum pendidikan harus diorientasikan kepada pengembangan potensi (yang beda-beda) dari anak didik. Dengan demikian perlakuan terhadap mereka sepatutnya mempertimbangkan perbedaan kemampuan dan potensi masing-masing.
Jadi, fungsi kurikulum sebagai pembeda dapat memberikan pelayanan kepada anak didik sebagai anggota (calon anggota) masyarakat sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, dengan tidak mengabaikan solidaritas sosial masyarakat. Hal ini dapat dimulai dengan memprogram kurikulum pendidikan yang relevan dan mengaplikasikan dalam proses belajar mengajar yang mendorong anak didik (yang berbeda-beda tersebut) untuk berfikir kreatif, kritis, dan berorientasi ke depan sehingga dapat berguna nantinya dalam kehidupan masyarakat.

d.  Fungsi Persiapan
Kurikulum berfungsi mempersiapkan anak didik agar mampu melanjutkan studi lebih lanjut untuk suatu jangkaun yang lebih jauh, apakah anak didik melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi atau persiapan untuk belajar di masyarakat seandainya ia tidak mungkin melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi (Hamalik, 1990: 11). Bersiap untuk belajar lebih lanjut tersebut sangat diperlukan, mengingat sekolah tidak mungkin memberikan semua apa yang diperlukan anak didik, termasuk dalam pemenuhan minat mereka.
Keberadaan kurikulum untuk mempersiapkan anak didik dalam memasuki dunia kerja juga menjadi perhatian para pengembang kurikulum. Anak didik yang karena alasan tertentu memasuki duni kerja, membuat kurikulum tidak menutup kemungkinanan memberikan pelayanan terhadap anak didik. Kalau kita perhatiakn, kurikulum SMA/MA merupakan contoh konkret fungsi persiapan. Kurikulum pada jenis ini pada prinsipnya didesain untuk memungkinkan anak didik mencari kerja dengan modal pengetahuan (ijazah) SMA. Lain halnya dengan kurikulum sekolah kejuruan, seperti STM yang memang sejak awal kurikulumnya didesain untuk dapat bekerja, walaupun sangat memungkinkan untuk melanjutkan kejenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Dapat di simpulkan bahwa kurikulum memiliki fungsi persiapan bagi anak didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih lanjut, namun dalam jenjang bidang, dan jenis sekolah tertentu sangat memungkinkan kurikulumnya didesain untuk mempersiapkan anak didik memasuki dunia kerja. Karenanya kurikulum mempunyai fungsi persiapan bagi anak didik.


e.  Fungsi Pemilihan
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa fungsi kurikulum adalah diferensiasi, yaitu memberikan pelayanan kepada anak didik sesuai dengan perbedaan-perbedaan yang ada pada dirinya. Antara keberadaan dan pemilihan merupakn dua hal yang erat sama sekali hubunggannya. Pengakuan atas keberadaan mereka berarti ada keinginan untuk memberikan kesempatan bagi anak didik dalam memilih apa yang diinginkan dan menarik minatnya. Karenanya, dalam mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut, kurikulum perlu disusun secara luas dan bersifat fleksibel dan luwes. Selain itu, kurikulum hendaknya dapat memberikan pilihan yang tepat sesuai dengan minat dan kemampuan peserta anak didik (Ibid.:11).

f.  Fungsi Diagnostik
Salah satu aspek pelayanan pendidikan adalah membantu dan mengarahkan anak didik agar mampu memahami dan menerimanya dirinya sehingga dapat mengembangkan semua potensi yang dimilikinya. Ini semua dapat dilakukan apabila mereka menyadari semua kelemahan dan kekuatan yang ada pada diri mereka melalui eksplorasi dan prognosis sehingga mereka dapat memperbaiki kelemahan tersebut dan mengembangkan fungsi kurikulum dalam mendiagnosis dan membimbing anak didik agar berkembang secara optimal (Ibid.: 12).
Fungsi diagnosis adalah agar siswa dapat mengadakan evaluasi kepada dirinya dan menyadari semua kelemahan dan kekuatan diri sehingga dapat memperbaiki dan mengembangkannya sesuai dengan kemampuan yanga ada, yang pada akhirnya dapat berkembang secara maksimal dalam masyarakat. Hal ini relevan dengan fungsi pendidikan islam, yaitu menanamkan nilai-nilai insani dan nilai-nilai ilahi pada peserta didik. Menurut Noeng Muhdjir (1987: 163), nilai budaya termasuk nilai insani , sedangkan nilai agama termasuk nilai ilahi. Relasi anatara kedua nilai tersebut menjadi linier-koheren, yang ada hubungan hierarkis dan etis yang menjadi rujukan dan pemandu semua nilai.

B.  Peranan Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis, mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan. Apabila dianalisis secara sederhana sifat dari masyarakat dan kebudayaan, tempat sekolah sebagai institusi sosial melaksanakan operasinya, paling tidak dapat ditentukan tiga jenis peranan kurikulum yang di nilai sangat pokok. Ketiga peran tersebut sama pentingnya dan berkaitan serta dilaksanakan secara sinambung.
Pertama, peranan konservatif. Kebudayaan sudah ada sebelum lahirnya suatu generasi dan tidak akan pernah mati meski generasi yang bersangkutan sudah habis. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah laku, bahkan kebudayaan terwujud dan didirikan dari perilaku manusia. Kebudayaan mencakup aturan yang berisi kewajiban dan tindakan-tindakan  yang diterima dan ditolak atau tindakan yang dilarang dan diizinkan. Semua kebudayaan yang sudah membudaya harus ditransmisikan kepada anak didik selaku generasi penerus. Oleh karena itu, semua ini menjadi tanggung jawab kurikulum dalam menafsirkan dan mewariskan nilai-nilai budaya yang mengandung makna membina perilaku anak didik. Sekolah sebagai lambang sosial sangat berperan dalam mempengaruhi perilaku anak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat. Jadi, kurikulum bertugas menyimpan adan mewariskan nilai-nilai budaya (Wiryokusumo dan Mulyadi, 1988: 7).
Dengan demikian,kurikulum bisa dikatakan konservatif karena mentransmisikan dan menafsirkan  warisan sosial kepada anak didik atau generasi muda. Sekolah sebagai suatu lembaga sosial, sangat berperan penting dalam memengaruhi dan membina tingkah laku anak sesuai dengan nilai-nilai sosial yang ada di lingkungan masyarakat , sejalan dan selaras dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial.
Kedua, peranan kritis dan evaluatif. Kebudayaan senantiasa berubah dan bertambah sejalan dengan perkembangan zaman yang terus berputar. Sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, tetapi juga menilai dan memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan (Ibid.: 8).
Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisiasi dalam kontrol sosial dan menekankan pada unsur kritis. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan masa mendatang dihilangkan dan diadakan modifikasi serta dilakukan perbaikan. Dengan demikian, kurikulum perlu mengadakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria tertentu.
Maksudnya, kurikulum itu selain mewariskan dan mentransmisikan nilai-nilai kepada generasi muda, juga sebagai alat untuk mengevaluasi kebudayaan yang ada. Apakah nilai-nilai sosial yang ada atau dibawa itu sesuai atau tidak dengan perkembangan yang akan datang serta apakah perlu diadakan perubahan atau tetap seperti aslinya.
Ketiga, peranan kreatif. Kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan kostruktif, dalam arti menciptakan dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa mendatang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu dalam mengembangkan potensinya, kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, berkemampuan dan berketerampilan baru sehingga memberikan manfaat bagi masyarkat (Ibid.:8).
Untuk itulah sekolah didirikan. Sekolah didirikan untuk membantu dan membimbing anak didik tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sanggup menghadapi segala masalah dalam hidupnya sesuai dengan tujuan dan cita-cita negara. Oleh sebab itu, kurikulum membuat kegiatan-kegiatan yang sifatnya kreatif dan konstruktif dalam rangka membantu anak didik mendapatkan materi pelajaran atau program pendidikan, pengalaman, dan lain sebagainya. Kesemuanya itu guna membantu anak didik dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya.
Ketiga peran di atas harus dilaksanakan seacara seimbang sehingga tercipta keharmonisan. Dengan demikian, kurikulum dapat memenuhi tuntutan waktu dan keadaan untuk membantu peserta didik menuju kebudayaan yang akan datang sehingga mereka menjadi generasi yang siap dan terampil dalam segala hal.
Implikasi peranan di atas adalah bahwa pendidikan memiliki cita-cita untuk menciptakan suatu masyarakat yang ideal, sesuai dengan nilai-nilai yang dianut bangsa dan selaras dengan tujuan pendidikan nasional. Kurikulum berupaya didesain agar dapat mengembangkan sains dan teknologi dengan sehingga anak didik menjadi sumber daya yang andal kehilangan identitas bangsanya.

PEMBUATAN KEPUTUSAN
KURIKULUM

A.  Sentralisasi Pengembangan Kurikulum
Apabila ada kata desentralisasi, tentunya ada kata sentralisasi. Desentralisasi dalam pengembangan kurikulum pada hakikatnya merupakan masalah pemberian wewenang dalam pengembangan kurikulum (Subandijah, 1993: 199). Maksud sentralisasi atau sistem pengembangan kurikulum secara sentral adalah keterlibatan pemerintah pusat dalam mengembangkan kurikulum atau program pendidikan yang akan mengembangkan kurikulum atau program pendidikan yang akan diterapkan pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan, yang bertujuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Sistem sentralisasi pengembangan kurikulum tersebut mempunyai tujuan agar memperoleh bentuk kurikulum inti yang wewenang penanganannya diserahkan kepada Menteri Pendidikan Nasional. Pada tingkat propinsi (tingkat I), kewenangannya diberikan kepada Kepala Kantor Departemen Pendidikan Nasional tingkat propinsi, dan pada tingkat Kabupaten/Kota kewenangannya diserahkan kepada Kantor Departemen Pendidikan Nasional (Diknas Kabupaten Kota), dan pada tingkat sekolah tingkat wewenangnya diserahkan kepada kepala sekolah yang bersngkutan.
Hieraki kewenangan dalam pengembangan kurikulum tersebut dikenal dengan nama model pengembangan dari atas ke bawah (top down), dan sebaliknya kadang-kadang terjadi pula (penyusunan dan pengembangan kurikulum) dari bawah ke atas. Sama halnya dengan kurikulum, sistem pengembangannya mementingkan pendekatan-pendekatan yang tepat. Apabila pendidikan digunakan sebagai sarana mengembangkan semua komponen pembangunan, pola pengembanagn pendidikan dan kurikulum secara sentralisasi dan desentralisasi sangat perlu diaplikasikan.

B.  Desentralisasi Pengembangan Kurikulum
Desentralisasi adalah bentuk organisasi yang menghubungkan otonomi organik dengan aspek-aspek kelembagaan tertentu bagi daerah tertentu yang ditinjau dari aspek administrasi. Berakaitan dengan makna desentralisasi tersebut, terdapat makna administrasi yang bersifat desentralisasi sebagai wujud pertanggung jawab terhadap siapa yang mempunyai wewenang mengoraganisasikan dalam mencapai kecocokan dan kesesuaian komponen kelembagaan denagan cara menjaga keseimbangan dan keharmonisan yang dinamis (Ibid.:201).
Prinsip dasar desentralisasi adalah pendelegasian dari segala otoritas dan fungsi terhadap semua level hierarkis tersebut. Dalam hubungan dengan desentralisasi administratif, secara tradisional terdapat tiga bentuk, sebagaimana diungkapkan oleh Husen (1985), yaitu by technical service, by territorial function, dan by cooperation. Maksudnya, desentralisasi administrasi kurikulum mempunyai makna yang berkaitan dengan teknik-teknik pelayanan, fungsi teritorial, dan kerja sama.
Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa desentralisasi juga dapat dipahami dengan sederhana, yaitu memiliki persoalan administrasi dan kewenangan (mengenai kurikulum atau hal lainnya). Desentralisasi pengembangan kurikulum mempunyai makna bahwa pengembangan kurikulum sekolah yang dihubungkan dengan potensi, karateristik, dan kebutuhan pengembangan daerah dapat dimulai dari pemegang kewenangan dan pengajaran (pengembangan kurikulum) yang bermula dari sekolah bersama dengan guru.
Sistem pendidikan di Indonesia masih menganut sistem sentralisasi. Maksudnya, persoalan administrasi dan kewenangan itu segaris dengan pengembangan kurikulum yang sudah terbentuk dalamkurikulum pendidikan nasional. Secara umum, sentralisasi pengembangan kurikulum di Indonesia masih sangat dominan.
Ketetapan suatu pola administratif dan pengembangan kurikulum di suatu negara sangat bergantung pada kebijakan pemegang otoritas di sekolah atau lembaga yanag bersangkutan. Hal ini akan lebih bermanfaat jika pola pendekatan administratif secara desntralisasi diaplikasikan karena beberapa alasan berikut.
Ø  Tingkat demokratis yang lebih tinggi disenangi oleh partisipan (pelaksanaannya).
Ø  Keputusan-keputusan yang diadopsi dalam basis partisipasi lebih menginginkan konsensus yang lebih besar.
Ø  Keputusan-keputusan dalam sistem desentralisasi memerlukan perhatian yang serius untuk kebutuhan yang konkret.
Ø  Partisipasi mempromosikan proses kreativitas indidvidu untuk manfaat organisasi.
Ø  Koherensi organisasi yang bersifat internal disediakan jika koordinasi dan petunjuknya benar; dan jika hubungan-hubungan atau saluran-saluran komunikasi yang efisien diadakan.
Ø  Biaya personalia dan kertas kerja dapat ditekan sedemikian rupa dalam kantong-kantong pusat.
Dari uraian di atas, manfaat pengaplikasian pola desentralisasi dalam pengembangan kurikulum dapat dimiliki dari berbagai komponen, yaitu partisipasi, legitimasi (pengesahan keputusan), psikomotor (perkiraan), kreasi dan inovasi, serta integrasi dan efisiensi.
Meskipun demikian, berbagai aspek perlu dipertimbangkan sebelum sistem desentralisasi kuirkulum diaplikasikan./ Aspek-aspek tersebut adalah karateristik khusus dari sistem sosial, ekonomi, dan kekuatan ekonomi; tingkat evolusi dan kompleksitas administrasi; perbedaan kesanggupan pemerintah daerah dalam memperoleh dana dan juga pendistribusiaannya; kurangnya tenaga teknis; minimnya kontribusi untuk pelaksanaan program dari piahak pemerintah dan non pemerintah; kondisi geografis yang berbeda-beda coraknya memerlukan biaya yang besar; perbedaan kualitas pendidikan didaerah tertentu dengan daerah lainnya; kondisi sosial politik suatu negara (aman atau tidaknya).
Memerhatikan aspek-aspek di atas secara teliti dan mendetail, akan memberikan insipirasi kepada kita bahwa keberadaan sistem kurikulum desntralisasi sangat tergantung pada berabagai kondisi. Jenis negara, misalnya, negara maju atau negara berkembang; negara kepulauan atau negara berbentuk benua; GNP tinggi atau GNP rendah; Kondisi sosial politik aman atau tidak; ada tidaknya atau sejauh mana perbedaan kualitas pendidikan antardaerah; sumber dana; dan lain-lain. Itu semua tentu menjadi pertimbangan utama dalam mengaplikasikan ide desentralisasi ke dalam pengembangan kurikulum. Mungkin dengan mempertimbangkan alasan-alasan seprti itulah pola administrasi kurikulum pendidikan di Indonesia masih banyak memberi porsi yang lebih tinggi kepada aspek yang lebih tinggi kepada aspek sentralisasi ketimbang desentralisasi.



Kurikulum


Pembuat keputusan adalah mereka (individu-individu atau kelompok) yang disebabkan status profesi atau posisinya dapat membuat keputusan-keputusan spesifik mengenai kurikulum untuk di susun dan diimplementasikan dalam sekolah-sekolah tertentu.
Barangkali terdapat perbedaan antara pembuat keputusan kurikulum negara-negara maju dan negara yang belum maju. Di negara maju, banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan keputusan. pendidik dan anak didik membuat keputusan-keputusan mengenai bahan kurikulum spesifik yang berkaitan dengan kelas mereka masing-masing. Kepala sekolah dapat melakukan/membuat keptusan-keputusan kurikulumyang memengaruhi semua staf  pada sekolah tertentu. Berbagai direktur jenderal, direktur, dan pengawassering membuat keptusan kurikulum yang memengaruhi aktivitas-aktivitas dari ratusan dan bahkan ribuan sekolah serta ribuan pendidik dan anak.
Pembuatan keputusan yang berhubungan dengan pengembangan kurikulum merupakan proses kebijakan yang di dalamnya terdapat tanggung jawab berbagai pihak yang berkepentingan dengan masalah pendidikan secara legal. Kadang juga ditemukan sikap pro dan kontra , yaitu sikap menerima dan menolak terhadap hasilkeputusan kurikulum. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan sudut pandang terhadap hasil keputusan kurikulum dan fungsi sekolah.

1.      Tingkat Pengambilan Keputusan Kurikulum
a.  Pengambilan Keputusan di Tingkat Nasional
Pengambilan keputusan di tingkat nasional ditangani oleh pemerintah pusat. Artinya, kurikulum yang berlaku secara nasional ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional atau menteri lain atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen berdasarkan pelimpahan wewenang dari Menteri Pendidikan Nasional. Kemudian, pelaksanaan keputusan kurikulum dilakukan oleh Dirjen tertentu, seperti Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen).

b. Pengambilan Keputusan di Tingkat Provinsi
Pengambilan keputusan di tingkat provinsi merupakan pengaplikasian keputusan kurikulum dari pusat yang dilakukan oleh bidang tersebut pada Kantor Pendidikan Nasional wilayah provinsi. Sebagai contoh, Sekolah Dasar dilaksanakan atau ditangani oleh Kabid Pendidikan Dasar.

c.  Pengambilan Keputusan di Tingkat Sekolah
Di tingkat sekolah, pengambilan keputusan untuk penyelengaraan dan pelaksanaan kurikulum dari pusat dilakukan oleh kepala sekolah tersebut.

d.  Pengambilan Keputusan di Tingkat Kelas
Pengambilan keputusan di tingkat kelas diberikan kepada guru kelas atau bidang studi yang berwewenang melaksanakan kurikulum dari pusat. Dalam hal ini sampai ke dalam bentuk keputusan yang paling kecil, yaitu dalam bentuk Satuan Pelajaran (SP).

2.      Tahapan Pengembangan Kurikulum
Tingkat atau tahapan dalam mengembangkan kurikulum suatu sekolah pada dasarnya berorientasi pada tujuan. Pertama, tahap yang dikenal dengan nama pengembangan program pada tingkat lembaga. Kedua, tahap pengembangan program bidang studi. Ketiga, tahap pengembangan program di kelas, yang dilakukan oleh guru di kelas pada suatu sekolah. Uraian berikut akan mengungkapkan ketiga tahapan pengembangan kurikulum yang terjadi di Indonesia.

a.  Pengembangan Kurikulum pada Tingkat Lembaga
Maksudnya, pengembangan seluruh program kegiatan yang tertuang di dalam kurikulum pendidikan tersebut. Pengembangan kurikulum tahap ini meliputi tiga pokok kegaitan, yaitu (1) Perumusan tujuan institusioanl, (2) Penetapan isi dan struktur program, (3) Penyusunan strategi pelaksanaan kurikulum secara keseluruhan.
Penetapan isi atau struktur program adalah menetukan bidang-bidang studi yang akan diajarkan pada suatu lembaga pendidikan. Sedangkan penetapan struktur program, merupakan penetapan atau penetuan jenis-jenis program pendidikan, sistem semester/caturwulan, jumlah bidang studi, dan alokasi waktu yang diperlukan.

b.  Pengembangan Program Tiap Bidang Studi
Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam kegiatan pengembangan program pada tiap bidang studi.
Ø  Penetapan pokok-pokok bahasan dan subpokok bahasan yang didasarkan atas tujuan kelembagaan (institusional).
Ø  Penyusunan garis-garis besar program pengajaran (GBPP). Setelah selesai merumuskan tujuan kurikuler, tujuan institusional, pokok bahasan, dan subpokok bahasan, semuanya kemudian disusun secara beraturan menurut urutannya, serta menentukan kelas, caturwulan, jumlah jam pelajaran, dan sumber buku (yang dipakai). Pada GBPP tersebut disusun sub-sub bidang studi.
Ø  Penyusunan pedoman khusus pelaksanaan program pengajaran masing-masing bidang studi. Pedoman khusus pelaksanaan pengajaran tersebut meliputi uraian tentang pendekatan dan metode mengajar yang digunakan untuk bidang studi tertentu, kemudian juga alat dan sarana yang diperlukan serta cara-cara penilaian hasil belajar yang digunakan.

c.  Pengembangan Program Pengajaran di Kelas
Pengembangan program pada tahap ini merupakan tahpa kewenangan guru untuk mengembangkan program pengajaran di kelas. Untuk mengembangkan program pengajaran di kelas, pendidik perlu memilki lebih lanjut dalam bentuk Satuan Pelajaran (SP). Satuan pelajaran ini dilaksanakan oleh para pendidik dalam rangka mengembangkan kegiatan program pengajaran di kelas. Akan tetapi, apabila bahan pengajaran yanag dikembnagkan GBPP sudah dikelompokkan menjadi satuan-satuan bahasan, pendidik tidak perlu lagi menyusun atau menetukan suatu bahasan. Satuan bahasan itu langsung dikembangkan menjadi satuan pelajaran (SP) untuk pedoman guru dalam melakukan proses belajar menagjar di kelas.



DAFTAR PUSTAKA

Idi, Abdullah. 2011. Pengembangan Kurikulum:  Teori & Praktik. Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA

0 komentar:

Posting Komentar